Kamis, 27 Desember 2012

Keep Praying

I just hide my life from lots of the people who judge me without beside of my life.
I'm not perfect human, but i  wanna try to be perfect for all people who loves me.




Every morning, as I recall .. God is always taking care of me
He never slept for all his people who want to do the best for God
What I do know, God is always with me when I'm lonely
What I do know, God is always there for everyone who needs His Love
God is never blind and deaf
 
He is Hearing for every man who never tired stop praying to Him
He never turned away from his people who would try to achieve the pleasure of His
Because I know, God is The Everything

Any difference in life, God created human beings in order to know how much of His Power
Love all the difference in life
In order for us to understand what the difference
Grateful for any deficiency and excess that God gives us
Let us not deny what has become His destiny
 
Because there is a lesson in all of what has become our destiny
Always pray to Him that we are always in the shadow of His

 

Senin, 26 Maret 2012

MAKALAH SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah". Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah atau daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah atau daerah masyarakat itu sendiri. Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah atau daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah atau daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.
Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.
Otonomi daerah tidak hanya pelaksanaan demokrasi pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya melainkan juga memperbaiki nasibnya sendiri. Di dalam UUD 1945 antara lain tersurat bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Namun dalam praktiknya hal tersebut belum dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan pemerataan bahkan dalam kenyataannya, terlihat sangat kuatnya kekuasaan yang terpusat dan lemahnya kekuasaan daerah. Dalam perkembangannya, pemerintah pusat yang semula dalam posisi kuat, kenyataannya justru mengandung kelemahan. Hal ini antara lain disebabkan oleh berbagai permasalahan yang muncul. Salah satunya yang paling rawan adalah ancaman beberapa daerah untuk melepaskan diri dari pemerintah pusat.
Merespon perkembangan tuntutan reformasi yang berkaitan dengan pemerintahan daerah ini, pertimbangan yang sangat strategis adalah perlu adanya Undang-undang yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang sesuai dengan perkembangan baru dan mengantisipasi perkembangan masa depan dengan tetap memperhatikan faktor eksistensi, efektifitas, dan keserasian dengan tujuan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Sistem pemerintahan daerah di Indonesia menurut konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, berdasarkan penjelasan dinyatakan bahwa daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah yang bersifat otonom atau bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang ada akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah. Oleh karena itu walaupun di daerah, pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai amanat UUD Negara RI tahun 1945 maka kebijakan politik hukum yang ditempuh oleh pemerintah terhadap pemerintahan daerah yang dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah, dengan mempertimbangkan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI.
Seiring dengan dilaksanakannya program otonomi daerah, pada umumnya masyarakat mengharapkan adanya peningkatan kesejahteraan dalam bentuk peningkatan mutu pelayanan masyarakat, partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam pengambilan kebijakan publik, yang sejauh ini hal tersebut kurang mendapat perhatian dari pemerintahan pusat. Namun kenyataannya sejak diterapkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah sejak Januari 2001, belum menunjukkan perkembangan yang signifikan bagi pemenuhan harapan masyarakat tersebut.
Dengan berkembangnya globalisasi, demokratisasi dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan tidak akan terlepas dari pengaruh global tersebut. Prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan menuntut adanya pemberian peran serta kepada warga negara dalam sistem pemerintahan, antara lain perlindungan konsitusional. Artinya, selain menjamin hak-hak individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin, badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, pemilihan umum yang bebas, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan berserikat atau berorganisasi dan beroposisi, serta pendidikan kewarganegaraan. Prinsip keistimewaan atau kekhususan sehingga pemerintah memberikan otonomi khusus kepada daerah tertentu dalam ikatan NKRI.
Kebijakan politik hukum pemerintahan guna efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, diperlukan peningkatan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dann tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan NKRI.
Dalam penulisan makalah ini, kami mengkaji mengenai peran Otonomi daerah yang dinilai mampu mewujudkan tujuan pemerintahan NKRI yaitu peningkatan kesejahteraan, terkait pelaksanaan sistem pemerintahan dalam wilayah NKRI.





1.2. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini ada 4 masalah utama yang perlu dibahas yaitu:
1. Apa landasan hukum sistem otonomi Daerah?
2. Bagaimana karakter hubungan Pemerintah NKRI dengan Daerah?
3. Bagaimana realisasi otonomi daerah dalam pemerintahan NKRI?
4. Apa hasil penerapan kebijakan otonomi daerah di wilayah NKRI?

1.3. Tujuan
Tujuan penulisan mengenai sistem otonomi daerah di dalam Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Negara RI, adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui landasan hukum sistem otonomi Daerah.
2. Mengetahui karakter hubungan Pemerintah NKRI dengan Daerah.
3. Mengetahui realisasi otonomi daerah dalam pemerintahan NKRI.
4. Mengetahui penerapan kebijakan otonomi daerah di wilayah NKRI.

1.4. Manfaat
Tulisan dalam makalah ini dapat digunakan sebagai bahan yang mendukung proses perenungan serta diskusi untuk mengkaji sistem yang dinilai tepat digunakan dalam sistem pemerintahan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 terkait dengan pewujudan peningkatan kesejahteraan rakyat melalui otonomi daerah.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Hukum Otonomi Daerah
Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen Kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan pemerintahan daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang.
Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Selanjutnya, pada ayat (5) tertulis, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.” Dan ayat (6) pasal yang sama menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.”
Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) memberikan definisi otonomi daerah sebagai berikut.

“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut.
“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Dalam sistem otonomi daerah, dikenal istilah desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Sementara itu, tugas pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Sebagai konsekuensi pemberlakuan sistem otonomi daerah, dibentuk pula perangkat peraturan perundang-undangan yang 5 Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, No. 32 Tahun 2004, LN No. 125 tahun 2004, TLN No. 4437, ps. 1. mengatur mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 25 Tahun 1999) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004).
Selain itu, amanat UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” direalisasikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (PP Nomor 6 Tahun 2005).

2.2 Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia
Menurut amanat UU Nomor 32 Tahun 2004, publik seharusnya dilibatkan dalam pembuatan kebijakan. Namun, di beberapa daerah yang sudah mengadopsi sistem otonomi daerah, kenyataan yang terjadi masih jauh dari harapan. Pengambilan keputusan belum melibatkan publik dan masih berada di lingkaran elite lokal provinsi dan kabupaten/kota. Keterlibatan publik dalam pembuatan kebijakan itu tercermin dari pembuatan peraturan daerah (perda).
Otonomi daerah yang dicanangkan sejak Januari 2001 telah membawa perubahan politik di tingkat lokal (daerah). Salah satunya adalah menguatnya peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Jika di masa sebelumnya DPRD hanya sebagai simbol dan kedudukannya di bawah legislatif, setelah otonomi daerah, peran legislatif menjadi lebih besar, bahkan dapat memberhentikan kepala daerah.
Sebagai contoh dari gambaran tersebut, sejak pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Deli Serdang, Sumatera Utara, telah membuat 43 perda. Dari 43 perda itu, sebagian berkaitan dengan peningkatan pendapatan daerah, yaitu perda tentang retribusi dan pajak. Pembuatan perda semuanya berasal dari eksekutif, kemudian dibawa untuk dibahas di DPRD. Setelah dilakukan pengesahan, perda-perda itu baru disosialisasikan ke publik. Meskipun Pemkab Deli Serdang cukup produktif dalam mengeluarkan peraturan, tidak demikian dengan pelayanan publik yang mereka berikan.
Walaupun pelaksanaan otonomi daerah lebih memikirkan peningkatan pendapatan daerah, seperti yang ditunjukkan dari ringkasan penelitian tentang desentralisasi di 13 kabupaten/kota di Indonesia, implementasi otonomi daerah selain telah mendekatkan pemerintah setempat dengan masyarakat, juga mendorong bangkitnya partisipasi warga.
Otonomi daerah, di lain pihak, memperkenalkan kecenderungan baru, yaitu banyaknya lembaga sosial masyarakat baru yang bertujuan untuk mengatasi konflik, perbedaan etnis, dan masalah sosial-ekonomi dengan bantuan minimal dari pemerintah lokal. Pemerintah lokal juga mencoba mengadopsikan peran aktif mengasimilasi kepentingan golongan minoritas. Untuk mengatasi masalah asimilasi, pada awal 1970-an, Presiden Soeharto membentuk Badan Kesatuan Bangsa dan Pembaruan Masyarakat (BKBPM), dan setelah reformasi, mengubah namanya menjadi Badan Kesatuan Bangsa (BKB). Badan ini memberikan dana kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bertujuan untuk menjalankan program asimilasi dan membangkitkan sensitif suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan saling pengertian antarkelompok minoritas. Program BKB juga menggunakan LSM dan aparat pemerintah dalam membangun program asimilasi kebudayaan dan kelompok etnis plural.
Dampak positif otonomi daerah adalah memunculkan kesempatan identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata.
Dalam kehidupan modern yang kita jalani dewasa ini, eksistensi pemerintahan tidak dapat dipungkiri lagi. Kehadiran pemerintah menjangkau hampir semua segi kehidupan, mulai dari kelahiran anak (akte kelahiran), nikah (harus pakai akte nikah), bahkan sampai seseorang meninggal dunia (harus mengurus akte kematian).
Tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban di dalam mana masyarakat bisa menjalani kehidupannya secara wajar. Pemerintahan modern, dengan kata lain, pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintahan tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai kemajuan bersama. Oleh karena itu, secara umum, tugas-tugas pokok pemerintahan mencakup tujuh bidang pelayanan, yaitu :
1. Menjamin keamanan negara dari segala kemungkinan serangan dari luar, dan menjaga agar tidak terjadi pemberontakan dari dalam yang dapat menggulingkan pemerintah yang sah melalui cara-cara kekerasan;
2. Memelihara ketertiban dengan mencegah terjadinya perselisihan di antara warga masyarakat, menjamin agar perubahan apapun yang terjadi di dalam masyarakat dapat berlangsung secara damai;
3. Menjamin diterapkannya perlakuan yang adil kepada setiap warga masyarakat tanpa membedakan status apapun yang melatarbelakangi keberadaan mereka. Jaminan keadilan ini terutama harus tercermin melalui keputusan-keputusan pengadilan, dimana kebenaran diupayakan pembuktiannya secara maksimal, dan dimana konstitusi dan hukum yang berlaku dapat ditafsirkan dan diterapkan secara adil dan tidak memihak, serta dimana perselisihan bisa didamaikan;
4. Melakukan pekerjaan umum dan memberikan pelayanan dalam bidang-bidang yang tidak mungkin dikerjakan oleh lembaga non-pemerintah. Ini antara lain mencakup pembangunan jalan, penyediaan fasilitas pendidikan yang terjangkau oleh mereka yang berpendapatan rendah, pelayanan pos dan pencegahan penyakit menular;
5. Melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial : membantu orang miskin dan memelihara orang-orang cacat, jompo dan anak-anak terlantar, menampung serta menyalurkan para gelandangan ke sektor kegiatan yang produktif, dan semacamnya;
6. Menerapkan kebijakan ekonomi yang menguntungkan masyarakat luas, seperti mengendalikan laju inflasi, mendorong penciptaan lapangan kerja baru, memajukan perdagangan domestik dan antar bangsa, serta kebijakan lain secara langsung menjamin peningkatan ketahanan ekonomi negara dan masyarakat;
7. Menerapkan kebijakan untuk pemeliharaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti air, tanah, dan hutan. Pemerintah juga berkewajiban mendorong kegiatan penelitian dan pengembangan untuk pemanfaatan sumber daya alam yang mengutamakan keseimbangan antara eksploitasi dan reservasi.
Sementara itu, untuk melaksanakan tugas-tugas pokok tersebut, pemerintah mempunyai beberapa fungsi. Pada umumnya pemerintah menjalankan dua fungsi pokok, fungsi pemerintahan umum. Yaitu mengatur kehidupan politik, sosial, ketertiban, pertahanan keamanan, termasuk kependudukan. Fungsi ini merupakan monopoli pemerintah, dalam arti pihak lain tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakannya. Fungsi penyediaan pelayanan masyarakat dalam arti luas, antara lain, kesehatan, pendidikan, pos, telekomunikasi, dan sebagainya. Fungsi ini bukan monopoli pemerintah, terbuka untuk fihak swasta yang melakukannya. Selain dua fungsi tersebut, dalam negara berkembang pemerintah juga dibebani fungsi ke tiga yaitu fungsi pembangunan.
Tugas pokok dan fungsi pemerintahan yang tertera di atas menggambarkan adanya jangkauan yang luas dan kompleks, dengan tanggung jawab yang sangat berat, terpikul di atas pundak setiap pemerintahan. Untuk melakukan tugas pokok dan fungsi tersebut, adalah hal yang sangat sulit jika dilaksanakan secara terpusat (concentrated) oleh Pemerintah Pusat. Untuk itu, tugas pokok dan fungsi tersebut harus diserahkan atau didelegasikan sebagian dalam bentuk kewenangan melalui asas desentralisasi kepada daerah (otonom) untuk diselenggarakan.
Pilihan terhadap orientasi pemerintahan yang desentralistis didasarkan pada beberapa alasan yang ditinjau dari beberapa dimensi, yaitu :
1. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada salah satu pihak saja, yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani;
2. Dalam bidang politik penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi;
3. Dari sudut organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama diurus oleh pemerintah setempat pengurusannya diserahkan kepada daerah. Hal-hal yang lebih tepat di tangan pusat tetap diurus oleh Pemerintah Pusat;
4. Dari sudut kultural, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkan kepada kekhususan suatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya;
5. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut.
Desentralisasi dalam tinjauan etimologis (Latin ; “de” lepas, “centrum” pusat) dapat diartikan melepaskan dari pusat. Pengertian ini dapat dikonotasikan sebagai pencerminan adanya pelepasan dalam konteks penyerahan kekuasaan atau kewenangan dari pusat ke daerah. Scligman mengemukakan bahwa desentralisasi merupakan suatu proses penyerahan wewenang (authority) dari pemerintah yang lebih tinggi yang mempunyai kekuasaan (power) kepada pemerintah yang lebih rendah derajatnya, yang menyangkut bidang legislatif atau administratif. Senada dengan hal tersebut, selanjutnya Ruiter meneruskan bahwa kewenangan tersebut untuk secara mandiri dan berdasarkan kepentingan, sendiri mengambil keputusan pengaturan dan pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi dari hal tersebut.
Format desentralisasi terdapat dalam dua bentuk, yakni : desentralisasi administratif atau dekonsentrasi, yang berarti delegasi wewenang pelaksanaan kepada tingkat lokal, dan desentralisasi politik atau devolusi, yang berarti bahwa wewenang pembuatan keputusan dan kontrol tertentu terhadap sumber daya diberikan kepada pejabat-pejabat regional dan lokal.
Desentralisasi adalah merupakan penyerahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Daerah Otonom, untuk secara mandiri dapat mengembangkan kreatifitas dan prakarsa dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hak dan wewenang untuk mengurus rumah tangga sendiri (local self government) ini dikenal dengan otonomi daerah.
Wewenang dalam konsep organisasi dan manajemen diartikan sebagai hak suatu unit kerja atau seseorang pejabat untuk melakukan sesuatu tugas dengan penuh tanggung jawab. Terry (2000 : 101) berpendapat bahwa pada organisasi-organisasi resmi yang berjalan, wewenang harus didelegasikan atau dibagi dari seorang manajer atau kelompok kerja organisasi pada pihak-pihak lain untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban khusus. Pendelegasian wewenang adalah untuk memutuskan perkara yang cenderung menjadi kewajibannya. Walaupun demikian, manajer yang mendelegasikan wewenang tidak menyerahkan secara permanen baik wewenang maupun tanggung jawabnya. Hal-hal yang dilakukan itu merupakan penyerahan hak untuk mengelola tugas-tugas di dalam batas-batas yang telah ditentukan, namun wewenang akhir tetap berada pada manajer yang memegang wewenang untuk mengelola seluruh kegiatan dan memikul tanggung jawab terakhir.
Lebih lanjut Terry (2000 : 101) mengemukakan bahwa pendelegasian wewenang merupakan suatu faktor yang vital di dalam organisasi dan manajemen, karena :
1. Menetapkan hubungan oraganisatoris format di antara anggota-anggota;
2. Memberikan kekuasaan manajerial;
3. Mengembangkan bawahan dengan cara memberi izin kepada mereka untuk mengambil keputusan.
Dalam melaksanakan pendelegasian wewenang, Nitisemito (1996 : 136-137) berpendapat bahwa hal-hal yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Kemampuan mengkategorikan antara tugas yang penting dan yang kurang penting;
2. Wewenang dan tanggung jawab harus dikemukakan dengan jelas;
3. Dalam pendelegasian wewenang diperlukan tanggapan, rasa tanggung jawab, inisiatif dan kreatifitas yang diberi wewenang, untuk itu dibutuhkan kepercayaan dari pemberi wewenang;
4. Dalam pendelegasian wewenang tidak setengah dan dalam batas kemampuan.
Melengkapi pendapat di atas, menurut Purbopranoto dalam Nihin (1999 : 47), untuk mewujudkan pemerintahan yang dikehendaki “good governance” adalah melalui asas-asas umum pemerintahan yang baik, antara lain sebagai berikut : asas jangan mencampuradukkan kewenangan, bahwa keputusan badan-badan pemerintah yang dikeluarkan harus sesuai dengan tujuan dan kewenangan yang diberikan kepada badan-badan pemerintah itu, atau dengan perkataan lain, bahwa tidak boleh menggunakan kewenangan untuk lain tujuan selain daripada tujuan yang telah ditetapkan oleh kewenangan tersebut.
Apabila rambu-rambu tersebut diikuti dengan baik, maka akan memberi manfaat yang signifikan. Terry (2000 : 105) mengemukakan bahwa manfaat yang diperoleh dari desentralisasi wewenang, yaitu antara lain : mendorong efektifitas hubungan, terdapat kesempatan yang lebih besar berkembang.
Penyerahan atau pembagian kewenangan daerah dari Pemerintah Pusat kepada daerah, membawa konsekuensi pada terbaginya urusan dan tugas pemerintahan. Beberapa sistem dalam pembagian kewenangan, yaitu antara lain :
1. Sistem Residu; Dalam sistem ini, secara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas-tugas yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga Daerah.
2. Sistem Material; Dalam sistem ini tugas Pemerintah Daerah ditetapkan satu per satu secara limitative atau terinci. Selain dari tugas yang telah ditentukan, merupakan urusan Pemerintah Pusat.
3. Sistem Formal; Dalam sistem ini urusan yang termasuk dalam urusan rumah tangga Daerah tidak secara apriori ditetapkan atau dengan Undang-Undang. Daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya, asal tidak mencakup urusan yang telah diatur oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatnya.
4. Sistem Riil; Dalam sistem ini, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan riil dari Daerah maupun Pemerintah Pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi.
Faktor yang menjadi dasar pembagian wewenang antara pusat dan daerah adalah : Fungsi yang sifatnya berskala nasional dan berkaitan dengan eksistensi negara sebagai kesatuan politik, wewenangnya diserahkan kepada Pemerintah Pusat; fungsi yang menyangkut pelayanan masyarakat yang perlu disediakan secara seragam atau standard untuk seluruh daerah, kewenangan ini lebih sesuai dikelola oleh Pemerintah Pusat mengingat lebih ekonomis bila diusahakan dalam skala besar (economic of scale); fungsi pelayanan yang bersifat lokal. Fungsi ini melibatkan masyarakat luas tetapi tidak memerlukan tingkat pelayanan yang seragam, untuk melaksanakan fungsi tersebut wewenangnya dapat diserahkan pada Pemerintah Daerah.


2.3 Pelaksanaan Otonomi Daerah
Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini adalah Otonomi Daerah yang berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU ini, otonomi daerah dipahami sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelengarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hidup, dan berkembang di daerah, sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung-jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semkain baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan daerah serta antara daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah dalam UU 22/1999 adalah :
1. Penyelengaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertangung jawab.
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota.
4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah.
5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi wilayah administratif.
6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
7. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administratis untuk melaksanakan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah.
8. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dalam implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999 yang dilaksanakan mulai 1 Januari 2001 terdapat beberapa permasalahan yang perlu segera dicarikan pemecahannya. Namun sebagian kalangan beranggapan timbulnya berbagai permasalahan tersebut merupakan akibat dari kesalahan dan kelemahan yang dimiliki oleh UU 22/1999, sehingga merekapun mengupayakan dilakukannya revisi terhadap UU 22/1999 tersebut.
Jika kita mengamati secara obyektif terhadap implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999 yang baru berjalan memasuki bulan kesepuluh bulan ini, berbagai permasalahan yang timbul tersebut seharusnya dapat dimaklumi karena masih dalam proses transisi. Timbulnya berbagai permasalahan tersebut lebih banyak disebabkan karena terbatasnya peraturan pelaksanaan yang bisa dijadikan pedoman dan rambu-rambu bagi implementasi kebijakan Otonomi Daerah tersebut.
2.4 Otonomi Daerah dan Masa Depannya
Perhatian dalam prinsip-prinsip pemberian dan penyelenggaraan otonomi Daerah dapat diperkirakan prospek ke depan dari Otonomi Daerah tersebut. Untuk mengetahui prospek tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan. Salah satu pendekatan yang kita gunakan disini adalah aspek ideologi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang digunakan dianggap sudah cukup memadai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat dan daerah. Kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat mememnuhi aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat dan Daerah.
Dari aspek ideologi, sudah jelas dinyatakan bahwa Pancasila merupakan pandangan, falsafah hidup dan sekaligus dasar negara. Nilai-nilai Pancasila mengajarkan antara lain pengakuan Ketuhanan, semangat persatuan dan kesatuan nasional, pengakuan hak azasi manusia, demokrasi, dan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat. Jika kita memahami dan menghayati nilai-nilai tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan Otonomi Daerah dapat diterima dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui Otonomi Daerah nilai-nilai luhur Pancasila tersebut akan dapat diwujudkan dan dilestarikan dalam setiap aspek kehidupan bangsa Indonesia.
Dari aspek politik, pemberian otonomi dan kewenangan kepada Daerah merupakan suatu wujud dari pengakuan dan kepercayaan Pusat kepada Daerah. Pengakuan Pusat terhadap eksistensi Daerah serta kepercayaan dengan memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah akan menciptakan hubungan yang harmonis antara Pusat dan Daerah. Selanjutnya kondisi akan mendorong tumbuhnya dukungan Derah terhadap Pusat dimana akhirnya akan dapat memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Kebijakan Otonomi Daerah sebagai upaya pendidikan politik rakyat akan membawa dampak terhadap peningkatan kehidupan politik di Daerah.
Dari aspek ekonomi, kebijakan Otonomi Daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas daerah akan memberikan kesempatan bagi Daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di Daerah. Melalui kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, daerah akan berupaya untuk meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan. Kewenangan daerah melalui Otonomi Daerah diharapkan dapat memberikan pelayanan maksimal kepada para pelaku ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional maupun global.
Dari aspek sosial budaya, kebijakan Otonomi Daerah merupakan pengakuan terhadap keanekaragaman Daerah, baik itu suku bangsa, agama, nilai-nilai sosial dan budaya serta potensi lainnya yang terkandung di daerah. Pengakuan Pusat terhadap keberagaman daerah merupakan suatu nilai penting bgi eksistensi daerah. Dengan pengakuan tersebut Daerah akan merasa setara dan sejajar dengan suku bangsa lainnya, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap upaya mempersatukan bangsa dan negara. Pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya lokal akan dapat ditingkatkan dimana pada akhirnya kekayaan budaya lokal akan memperkaya khasanah budaya nasional.
Selanjutnya dari aspek pertahanan dan keamanan, kebijakan Otonomi Daerah memberikan kewenangan kepada masing-msing daerah untuk memantapkan kondisi Ketahanan daerah dalam kerangka Ketahanan Nasional. Pemberian kewenangan kepada Daerah akan menumbuhkan kepercayaan Daerah terhadap Pusat. Tumbuhnya hubungan dan kepercayaan Daerah terhadap Pusat akan dapat mengeliminir gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia .
Memperhatikan pemikiran dengan menggunakan pendekatan aspek ideologi, politik, sosal budaya dan pertahanan keamanan, secara ideal kebijakan Otonomi Daerah merupakan kebijakan yang sangat tepat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini berarti bahwa kebijakan Otonomi Daerah mempunyai prospek yang bagus di masa mendatang dalam menghadapi segala tantangan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasya-rakat, berbangsa dan bernegara.
Namun demikian prospek yang bagus tersebut tidak akan dapat terlaksana jika berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi tidak dapat diatasi dengan baik. Untuk dapat mewujudkan prospek Otonomi Daerah di masa mendatang tersebut diperlukan suatu kondisi yang kondusif diantaranya yaitu:
• Adanya komitmen politik dari seluruh komponen bangsa terutama pemerintah dan lembaga perwakilan untuk mendukung dan memperjuangkan implementasi kebijakan Otonomi Daerah.
• Adanya konsistensi kebijakan penyelenggara negara terhadap implementasi kebijakan Otonomi Daerah.
• Kepercayaan dan dukungan masyarakat serta pelaku ekonomi dalam pemerintah dalam mewujudkan cita-cita Otonomi Daerah.
Dengan kondisi tersebut bukan merupakan suatu hal yang mustahil Otonomi Daerah mempunyai prospek yang sangat cerah di masa mendatang. Kita berharap melalui dukungan dan kerjasama seluruh komponen bangsa kebijakan Otonomi Daerah dapat diimplementasikan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.


III
PEMBAHASAN
3.1 Landasan Hukum
Di dalam pokok-pokok perubahan UUD 1945 pada bab IV pasal 18 ayat 1 tentang pengaturan pemerintahan daerah, dijelaskan bahwa negara Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Setiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Sebagai negara kesatuan, kita tidak mengenal adanya negara dalam negara, karena memang bukan negara federal (serikat). Pembagian daerah adalah sekedar suatu desentralisasi dengan otonomi yang luas untuk melancarkan jalannya pemerintahan. Selanjutnya dalam ayat 2 diatur tentang otonomi pemerintahan daerah. Dijelaskan dalam pasal tersebut bahwa pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan. Selain mengatur tentang otonomi daerah, UUD 1945 hasil amandemen juga mengakui keistimewaan pemerintahan daerah. Dalam pasal 18B ayat 1, hubungan pemerintah pusat dan daerah provinsi, kabupaten dan kota diatur dalam suatu undang-undang dengan memperhatikan keistimewaan daerah masing-masing. Selain itu, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yan diatur dalam undang-undang (pasal 18B ayat2). Hal ini merupakan perwujudan kebinekaan masyarakat dan wilayah Negara Indonesia dengan segala kekayaan etnis, budaya, adat istiadat dan karakter masing-masing.
Kebebasan dan keterbukaan politik yang terjadi pasca Orde Baru membawa konsekuensi logis pada pemerintahan untuk segera mengubah diri. Segala macam kebijakan dan regulasi yang berbau orde baru yang sentralistis diubah sedemikian besarnya menjadi sangat terdesentralisasi. Kebijakan desentralisasi diperkenalkan pada tahun 1999 melalui UU No.22/1999 dan UU 25/1999. Dua undang-undang ini lahir untuk merespon dua kondisi sosial-politik yaitu merebaknya tuntutan daerah untuk memperoleh otonomi yang lebih luas, bahkan tuntutan federasi dan merdeka, serta semangat demokrasi yang menuntut ruang partisipasi yang luas.
Dengan setting sosial politik ini maka UU No. 22/1999 dan UU 25/1999 hadir dengan dua misi utama. Untuk memuaskan semua daerah dengan memberikan ruang partisipasi politik yang tinggi melalui ‘desentralisasi politik’ dari pusat kepada daerah, dan memberikan kesempatan dan kepuasan politik kepada masyarakat dengan memberikan kesempatan untuk menikmati simbol-simbol utama demokrasi lokal (misal pemilihan Kepala Daerah). Untuk memuaskan daerah-daerah kaya sumberdaya alam yang ‘memberontak’ dengan memberikan akses yang lebih besar untuk menikmati sumberdaya alam yang ada di daerah mereka masing-masing.
Regulasi yang baru ini memberikan kewenangan yang luas kepada daerah otonom yang meliputi seluruh bidang pemerintahan kecuali politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta beberapa kewenangan bidang lain. Disamping memperoleh kewenangan politik yang luas, daerah juga memperoleh peluang partisipasi politik yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kesempatan untuk memilih Kepala Daerah secara langsung, juga pembentukan Badan Perwakilan Desa sebagai perkembangan baru bagi kehidupan demokrasi di tingkat desa. Secara lebih detail, UU No.22/1999 yang kemudian dilanjutkan dengan UU No.32/2004 dengan beberapa revisi, telah melakukan perubahan signifikan dibandingkan dengan sistem yang digunakan di masa Orde Baru.
Semangat otonomi daerah yang lebih besar ini dimulai dengan perubahan simbolisasi pada nama daerah otonom. Istilah tingkatan daerah otonom (Dati I dan Dati II) dihapuskan, dan diganti dengan istilah yang lebih netral, yaitu Propinsi, Kabupaten dan Kota. Hal ini didasari semangat untuk menghindari citra bahwa tingkatan lebih tinggi (Dati I) secara hierarkhis lebih berkuasa daripada tingkatan lebih rendah (Dati II). Padahal dua-duanya merupakan badan hukum yang terpisah dan sejajar yang mempunyai kewenangan berbeda. UU No.22/1999 memperpendek jangkauan asas dekonsentrasi yang dibatasi hanya sampai pemerintahan Propinsi. Pemerintahan Kabupaten dan Kota telah terbebas dari intervensi pusat yang sangat kuat melalui perangkapan jabatan Kepala Daerah Otonom (Local Self-government) dan Kepala Wilayah Administratif (Field Administration). Bupati dan Walikota adalah Kepada Daerah Otonom saja. Sementara itu jabatan Kepala Wilayah pada kabupaten dan Kota (dulu Kotamadya) sudah tidak dikenal lagi. UU No.22/1999 yang kemudian dilanjutkan oleh UU No.32/2004 menghapuskan posisi wilayah administratif (field administration) pada level Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Integrated Prefectoral System yang sentralistis yang digunakan UU No.5/1974 diubah menjadi Functional System, dan bukan sekedar Unintegrated Prefectoral System yang dikenal pada UU No.1/1957.
UU tersebut menempatkan pemerintahan kecamatan dan kelurahan sebagai perangkat Daerah otonom, yaitu Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Dengan kata lain, pemerintahan kecamatan menempati posisi sebagai kepanjangan tangan pemerintahan daerah otonom (desentralisasi), dan bukan sebagai aparat dekonsentrasi.
Bupati dan Walikota dipilih secara mandiri di daerah tanpa melibatkan pemerintah Propinsi maupun pemerintah Pusat. Dalam UU No.22/1999, Kepala Daerah dipilih oleh DPRD. Oleh karena itu, Bupati/Walikota harus bertanggung jawab kepada dan bisa diberhentikan oleh DPRD sebelum masa jabatannya usai. Sementara itu, pemerintah pusat (Presiden) hanya diberi kekuasaan untuk ‘memberhentikan sementara’ seorang Bupati/Walikota jika dianggap membahayakan integrasi nasional. Pada tahun 2004, diperkenalkanlah Pilkada Langsung di mana Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat dari para pasangan calon yang diajukan oleh partai politik. Perubahan ke arah pendalaman demokrasi ini terus berkembang. UU No.32/2004 ini kemudian direvisi di tahun 2008 dengan memberikan kesempatan kepada calon perseorangan untuk berkompetisi dalam Pilkada Langsung.
Kewenangan yang lebih luas kepada daerah otonom yang meliputi seluruh bidang pemerintahan kecuali politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta ‘kewenangan bidang lain’. Hanya saja, definisi ‘kewenangan bidang lain’ ini ternyata masih sangat luas, sebab mencakup perencanaan dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan SDM, pendaya gunaan SDA serta teknologi tinggi strategis, koservasi dan standarisasi nasional.
Sementara itu, keuangan daerah juga mengalami beberapa perubahan. Melalui UU No.25/1999 dan UU No. 33/2004, secara makro sumber-sumber keuangan daerah diperbesar, sejalan dengan dikembangkannya prinsip perimbangan. Jumlah alokasi transfer keuangan ke daerah terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jumlah ini juga semakin terasa untuk dua provinsi yang memperoleh otonomi khusus, yaitu Papua dan Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam) melalui dana Otsus dan penyesuaian. Semua ini dilakukan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah, meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah, serta meningkatkan sinergi perencanaan pembangunan pusat dan daerah.
3.2 Karakter Hubungan Pusat dan Daerah
Sentralisasi sumberdaya politik dan ekonomi di tangan sekelompok kecil elit di pemerintah pusat adalah konsekuensi yang melekat dari sistem politik otoritarian tersebut. Bahkan, sentralisasi ini masih diperparah lagi dengan dikembangkannya uniformitas supra- dan infra-struktur politik.
Orde Baru mengatur pemerintahan lokal secara detail dan diseragamkan secara nasional (Devas 1989). Organ-organ supra-struktur politik lokal diatur secara terpusat dan seragam tanpa mengindahkan heterogenitas ‘sistem politik’ lokal yang telah eksis jauh sebelum terbentuknya konsep kebangsaan Indonesia. Melalui strategi korporatisme negara, pemerintah Orde Baru melakukan penunggalan kelompok kepentingan yang dikontrol secara terpusat. Para buruh di seluruh nusantara hanya diakui eksistensinya apabila bernaung di bawah SPSI. Demikian pula halnya untuk pegawai negeri yang telah disediakan Korpri, untuk guru telah disediakan PGRI, untuk petani telah disediakan HKTI, untuk pengusaha telah disediakan KADIN, untuk para wartawan telah disediakan PWI, dan lain-lain.
Mekanisme kontrol politik secara nasional tersebut bahu-membahu dengan sentralisasi pengelolaan sumber daya ekonomi secara nasional yang sangat bias pusat (Jakarta, dan kemudian Jawa). Dengan wacana pembangunan nasional, pemerataan pembangunan antar daerah dan integrasi nasional, pemerintah melakukan pengelolaan sumber daya ekonomi daerah secara nasional. Pertambangan, hutan, beberapa hasil laut dan beberapa jenis perkebunan dikelola secara nasional yang hasilnya dibawa secara penuh ke Jakarta.
Mekanisme sentralistis semacam ini terus berkepanjangan karena dua hal utama. Pada tingkat nasional, elit politik pembuat keputusan tidak mempunyai basis politik lokal sama sekali. Kekuatan eksekutif nasional yang menjadi aktor tunggal dalam pentas politik nasional tidak berakar dari bawah, dan bahkan tidak membutuhkan dukungan politik dari masyarakat untuk kelangsungan kekuasaan politik mereka. Pada tingkat daerah, masyarakat politik lokal teralienasi dari mekanisme politik yang telah sepenuhnya ternasionalisasi. Bahkan juga, arena politik lokal telah dimonopoli oleh orang pusat yang ada di daerah.
Cara kerja politik yang sentralistis dan monolitis ini hanya mampu memperbaiki keadaan sesaat dan bersifat semu belaka. Sinyal-sinyal kegagalan pengaturan politik lokal Orde baru semakin mencolok ke permukaan tatkala beberapa masyarakat daerah, terutama Irian Jaya dan Aceh, menuntut perubahan mendasar dalam pengaturan politik lokal dan dalam hubungan pusat-daerah di tahun 1997an. Bahkan, salah satu bentuk tuntutan itu adalah tuntutan separatis untuk membentuk negara sendiri. Tuntutan pembentukan negara sendiri atau melepaskan diri dari bagian wilayah NKRI benar-benar terwujud yakni dengan lepasnya Propinsi Timor Timur dari bagian wilayah NKRI melalui referendum pada era Presiden Habibie.
Fakta-fakta tentang adanya tuntutan separatis yang akhirnya diwujudkan melalui lepasnya Timor Timur dari wilayah Indonesia merupakan bukti bahwa ‘ketaatan’ komunitas politik lokal terhadap pusat yang terjadi selama ini adalah sebuah ketaatan yang semu dan penuh keterpaksaan. Tentu saja konsep negara-bangsa semacam ini sangat rentan terhadap gejolak.
3.3 Realisasi dalam Pemerintahan NKRI
Daerah otonom sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah, yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI. Berdasarkan rumusan tersebut, dalam otonom terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
1. Unsur batas wilayah. Sebagai kesatuan masyarakat hukum, batas suatu wilayah adalah sangat menentukan untuk kepastian hukum bagi pemerintah dan masyarakat dalam melakukan interaksi hukum, misalnya dalam penetapan kewajiban tertentu sebagai warga masyarakat serta pemenuhan hak-hak masyarakat terhadap fungsi pelayanan umum pemerintahan dan peningkatan kesejahteraan secara luas kepada masyarakat setempat. Di sisi lain, batas wilayah ini sangat penting apabila ada sengketa hukum yang menyangkut wilayah perbatasan antar daerah. Dengan perkataan lain, dapat dinyatakan bahwa suatu daerah harus mempunyai wilayah dengan batas-batas yang jelas sehingga dapat dibedakan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya.
2. Unsur pemerintahan. Eksistensi pemerintahan di daerah didasarkan atas legitimasi undang-undang yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menjalankan urusan pemerintahan yang berwenang mengatur kreativitasnya sendiri. Elemen pemerintahan daerah adalah meliputi pemerintahan daerah dan lembaga DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
3. Unsur masyarakat. Masyarakat sebagai suatu elemen pemerintahan daerah merupakan kesatuan masyarakat hukum, kebiasaan dan adat istiadat yang turut mewarnai sistem pemerintahan daerah, mulai dari bentuk cara berpikir, bertindak dan kebiasaan tertentu dalam kehidupan masyarakat. Bentuk-bentuk partisipasi budaya masyarakat antara lain gotong-royong, permusyawaratan, cara menyampaikan pendapat dan pikiran yang menunjang pembangunan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pelayanan pemerintahan.
Kebijakan pemerintah memberikan pengakuan keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam berupa pelaksanaan kehidupan beragama, adat dan pendidikan serta memperhatikan peranan ulama dalam ikut serta menetapkan kebijakan daerah. Adapun keistimewaan Provinsi Istimewa Yogyakarta adalah pengangkatan gubernur dan wakil gubernur, sedangkan di Papua kekhususan adalah dengan mempertimbangkan tentang peran kepala adat masyarakat Papua yang mendapat wewenang dalam keikutsertaannya menetapkan kebijakan pemerintahan dan pembangunan masyarakat Papua. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dalam perimbangan keuangan pusat dan daerah, dirasakan kurang menampung aspirasi masyarakat dan ulama berdasarkan hak keistimewaan Aceh di atas.
Berdasarkan kebijakan politik hukum pemerintah di atas, penyelenggaraan pemerintahan wilayah NKRI dilakukan dengan penetapan strategi sebagai berikut:
1. Peningkatan pelayanan. Pelayanan di bidang pemerintahan, kemasyarakatan dan pembangunan adalah suatu hal yang bersifat esensial guna mendorong atau menunjang dinamikan interaksi kehidupan masyarakat baik sebagai sarana untuk memperoleh hak-haknya, maupun sebagai sarana kewajiban masyarakat sebagai warga negara yang baik. Bentuk pelayanan pemerintahan tersebut antara lain meliputi rekomendasi, perizinan, dispensasi, hak berusaha, surat keterangan kependudukan dan sebagainya.
2. Pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Konsep pembangunan dalam rangka otonomi daerah ini, bahwa peran serta masyarakat lebih menonjol yang dituntut kreativitas masyarakat baik pengusaha, perencana, pengusaha jasa, pengembang dalam menyusun konsep strategi pembangunan daerah, dimana peran pemerintah hanya terbatas pada memfasilitasi dan mediasi. Disamping itu dalam kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat khususnya partai politik untuk memberikan pendidikan politik rakyat guna meningkatkan kesadaran bernegara dan berbangsa guna tercapainya tujuan nasional dalam wadah NKRI.
3. Peningkatan daya saing daerah. Peningkatan daya saing daerah ini guna tercapainya keunggulan lokal dan apabila dipupuk kekuatan ini secara nasional akan terwujud resultan daya saing nasional. Disamping itu daya saing nasional akan menunjang sistem ekonomi nasional yang bertumpu pada strategi kebijakan perekonomian rakyat.
Dalam politik hukum, yang paling esensi dalam penyelenggaraan peemerintahan daerah yang bersifat otonomi ialah pemberian kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban tertentu. Dalam realita di lapangan, ternyata kebijakan ini hanya tinggal kebijakan belaka, dalam beberapa kewenangan tertentu yang berpotensial sering ditarik ulur sehingga berpengaruh terhadap efektivitas dan efisien penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hubungan antar pemerintahan yakni hubungan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dengan pemerintah kabupaten/kota, di era pemberlakuan otonomi daerah, kebiasaan-kebiasaan penyelenggaraan pemerintahan daerah sering terjadi salah tafsir yang berimplikasi pada hubungan masing-masing kepala daerah. Adapun hubungan antar pemerintah daerah, khususnya hubungan antara pemerintah daerah dengan Badan Legislatif Daerah sering terjadi disharmonisasi sehingga mengganggu sistem kemitraan antara pemerintah daerah dan legislatif daerah. Atas dasar itulah, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan otonomi daerah sehingga perlu diganti dengan Undang-Undang nomor 32 tahun 2004.
3.4 Hasil Penerapan Kebijakan
Berbagai daerah juga telah semakin maju mengembangkan lembaga-lembaga kerjasama antar daerah untuk memfasilitasi manajemen konflik, pengembangan ekonomi lintas daerah, efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, dan sebagainya. Beberapa lembaga kerjasama antar daerah yang sudah mulai dikenal antara lain Javapromo (kerjasama 13 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta di bidang Pariwisata), Kartamantul (kerjasama Kota Yogyakarta, Kab Sleman, dan Kab Bantul), Subosuko Wonosraten (mencakup daerah Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten), Pawonsari (Pacitan, Wonogiri, Wonosari), Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen), Gerbangkertosusilo (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoardjo dan Lamongan), dan lain-lain.
Gambaran di atas telah memperluas arena dan memperbesar sumberdaya yang tersedia di daerah. Melalui desentralisasi dan otonomi, pemerintah daerah memiliki kesempatan lebih luas untuk memperbaiki kondisi pelayanan publik, perkembangan perekonomian daerah, serta dalam mengembangkan berbagai terobosan baru dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Lembaga-lembaga pemantau pelaksanaan otonomi daerah seperti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP), SMERU Research Institute, Sustainable Capacity Building for Decentralization Project (SCBD), Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (YIPD), dan berbagai lembaga lain telah berhasil mendokumentasikan sejumlah inovasi baru daerah yang dikembangkan pada masa implementasi otonomi daerah.
Berbagai kemajuan tersebut menunjukkan bahwa daerah-daerah semakin memiliki kebebasan untuk mengembangkan wilayahnya sesuai kebutuhan masyarakat lokal dengan bekal kebijakan otonomi yang diberikan oleh pusat.
Namun di sisi lain, masyarakat lokal belum sepenuhnya menikmati desentralisasi fungsi dan fiskal yang diberikan ke daerah. Banyak bagian-bagian dari daerah yang kecewa terhadap kebijakan daerah otonom maupun pemerintah pusat yang pada gilirannya kemudian menuntut mandiri menjadi daerah otonom sendiri. Fenomena inilah yang disebut dengan pemekaran daerah.
Hanya dalam waktu setengah dekade, jumlah daerah otonom di Indonesia bertambah menjadi hampir dua kali lipat. Sejak Oktober 1999 sampai Januari 2008, tercatat telah terbentuk 164 daerah baru terdiri dari 7 provinsi baru, 23 kota baru, dan 134 kabupaten baru,
Fenomena pemekaran daerah pada dasarnya merupakan bentuk lain dari upaya daerah dalam menarik perhatian pusat. Jika pada era Orde Lama daerah menyuarakan tuntutannya melalui pemberontakan, pada era Orde Baru pemberontakan daerah diredam melalui mekanisme penyuapan loyalitas yang elitis dari pusat, maka pada era reformasi pusat merespon tuntutan dari daerah dengan lebih terlembaga melalui pemberian rekognisi politik dan kultural serta alokasi sumberdaya ekonomi yang tidak merata ke seluruh bagian daerah.
Sebagian besar kajian akademis tentang pemekaran daerah menunjukkan bahwa inisiasi pemekaran daerah dipicu oleh kebutuhan untuk pemerataan ekonomi, dan upaya memperbaiki kondisi pelayanan publik dengan menghadirkan negara di tengah-tengah masyarakat. Disamping itu, adanya insentif pemekaran dalam bentuk alokasi DAU dan DAK juga menjadi daya tarik tersendiri bagi daerah-daerah untuk mengajukan usul pemekaran.
Kebijakan pemekaran daerah yang berjumlah lebih dari 160 kasus tersebut tidak membawa dampak yang sama. Pemekaran di masing-masing daerah mempunyai kekhasannya sendiri yang tidak mudah untuk digeneralisasikan. Untuk kepentingan perumusan kebijakan di tingkat nasional, perlu dilakukan identifikasi dampak pemekaran secara umum. Dampak ini tidak hanya terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik dan pembangunan di tingkat nasional, tetapi juga dampak sosial, politik dan ekonominya di tingkat daerah.
Mengambil pelajaran dari studi-studi yang dilakukan oleh beberapa lembaga riset, seperti Percik, LIPI dan beberapa lembaga lainnya, dampak sosial dan politik kebijakan pemekaran tidak bisa digambarkan secara generik. Sangat tidak mudah untuk disimpulkan apakah pemekaran daerah berdampak positif ataukah negatif. Setiap dimensi, sosio-kultural, politik dan pemerintahan, serta pelayanan publik dan pembangunan ekonomi, dampak pemekaran selalu bermata ganda: bisa positif, tetapi pada saat yang sama juga bersifat negatif. Belum lagi apabila dampak tersebut diletakkan dalam skala yang berbeda dalam skala daerah ataukah dalam skala nasional.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, gambaran tentang dampak pemekaran dalam tulisan ini diletakkan dalam pandangan ganda. Menghindari ataupun meminimalisasi dampak negatif pada dasarnya adalah mengelola proses kebijakan pemekaran dan proses pasca pemekaran.
1. Dampak Sosio Kultural
Pemekaran daerah membawa implikasi positif dalam bentuk pengakuan sosial, politik dan kultural masyarakat daerah. Melalui kebijakan pemekaran, entitas masyarakat yang mempunyai sejarah kohesivitas dan kebesaran yang panjang, memperoleh pengakuan sebagai daerah otonom baru. Pengakuan ini pada gilirannya memberikan kontribusi positif terhadap kepuasan masyarakat, sehingga meningkatkan dukungan daerah terhadap pemerintah nasional.
Namun demikian, kebijakan pemekaran juga bisa memicu konflik yang pada gilirannya juga menimbulkan masalah horisontal dan vertikal dalam masyarakat. Sengketa antara pemerintah daerah induk dengan pemerintah daerah pemekaran dalam hal pengalihan aset dan batas wilayah, seringkali berimplikasi pada ketegangan antar kubu masyarakat dan antara masyarakat dengan pemerintah daerah.
2. Dampak Pada Pelayanan Publik
Kebijakan pemekaran daerah mampu memperpendek jarak geografis antara pemukiman penduduk dengan sentra pelayanan, juga mempersempit rentang kendali antara pemerintah daerah dengan unit pemerintahan di bawahnya. Disamping itu, pemekaran juga memungkinkan untuk menghadirkan jenis-jenis pelayanan baru, seperti pelayanan listrik, telepon, serta fasilitas urban lainnya, terutama di wilayah ibukota daerah pemekaran.
Tetapi, pemekaran juga menimbulkan implikasi negatif bagi pelayanan publik, terutama pada skala nasional, terkait dengan alokasi anggaran untuk pelayanan publik yang berkurang. Hal ini disebabkan adanya kebutuhan belanja aparat dan infrastruktur pemerintahan lainnya yang bertambah dalam jumlah yang signifikan sejalan dengan pembentukan DPRD dan birokrasi di daerah hasil pemekaran.
3. Dampak Bagi Pembangunan Ekonomi
Pasca terbentuknya daerah otonom baru, terdapat peluang yang besar bagi akselerasi pembangunan ekonomi di wilayah yang baru. Bukan hanya infrastruktur pemerintahan yang terbangun, tetapi juga infrastruktur fisik dan infrastruktur kebijakan pembangunan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah otonom baru. Semua infrastruktur ini membuka peluang yang lebih besar bagi wilayah hasil pemekaran untuk mengakselerasi pembangunan ekonomi.
Namun, kemungkinan akselerasi pembangunan ini harus dibayar dengan besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk membiayai belanja pegawai dan belanja operasional pemerintahan daerah. Dari sisi teoritik, belanja ini bisa diminimalisir melalui kebijakan pembangunan ekonomi yang menjangkau seluruh wilayah, sehingga akselerasi pembangunan ekonomi tetap dimungkinkan dengan harga yang murah. Namun, dalam perspektif masyarakat daerah, selama ini tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa pemerintah nasional akan melakukannya tanpa kehadiran pemerintah daerah otonom.
4. Dampak Bagi Pertahanan, Keamanan dan Integrasi Nasional
Pembentukan daerah otonom baru, bagi beberapa masyarakat pedalaman dan masyarakat di wilayah perbatasan merupakan isu politik nasional yang penting. Bagi masyarakat tersebut, bisa jadi mereka tidak pernah melihat dan merasakan kehadiran 'Indonesia', baik dalam bentuk simbol pemerintahan, politisi, birokrasi dan bahkan kantor pemerintah. Pemekaran daerah otonom, oleh karenanya, bisa memperbaiki kenangan politik nasional di daerah melalui peningkatan dukungan terhadap pemerintah nasional dan menghadirkan pemerintah pada level yang lebih bawah.
Dalam sudut pandang pemerintah pusat, kebijakan pemekaran juga sangat penting ditempuh dalam kaitannya untuk mendorong munculnya aktivitas perekonomian dan akselerasi pertumbuhan ekonomi di daerah perbatasan dan tertinggal, penguatan identitas kenegaraan dengan mendekatkan pelayanan pada masyarakat sehingga negara akan dirasakan kehadirannya sangat riil oleh masyarakat, dan sebagai upaya untuk penjagaan wilayah aktif dalam rangka membangun pertahanan dan keamanan di wilayah perbatasan. Namun, biaya politik untuk menghadirkan pemerintahan daerah otonom baru ini seringkali juga bisa sangat mahal, apabila pengelolaan politik selama proses dan pasca pemekaran tidak bisa dilakukan dengan baik. Berdasarkan pengamatan pada beberapa daerah hasil pemekaran, ketidakmampuan untuk membangun ornamen politik antar kelompok dalam masyarakat mengakibatkan munculnya tuntutan untuk memekarkan lagi daerah yang baru saja mekar.


BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan

Untuk melaksanakan amanat memang tidak mudah, apalagi amanat yang di dalam Undang-undang dasar 1945. Amandemen kedua tahun 2000 mengatur pelaksanaan sistem pemerintahan khususnya pemerintahan daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan pemerintahan daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang.
Bangsa Indonesia menaruh harapan yang besar terhadap keberhasilan format kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dalam memperkuat integrasi nasional dan semangat kebangsaan. Kekecewaan masyarakat lokal di tahun 1950an dan 1960an ternyata hanya bisa diselesaikan secara semu oleh pemerintah Orde Baru. Pemberontakan daerah diselesaikan dan represi politik dan militer, dan tuntutan alokasi sumberdaya ekonomi diselesaikan dengan pola pembangunan yang sentralistis dan otoriter. Gejolak politik daerah memang tidak ada, namun sebenarnya hanya sekedar tidak bisa mencuat ke permukaan belaka.
Indonesia pasca 1999 mencoba untuk merumuskan kebijakan baru. Kekecewaan masyarakat daerah yang muncul dalam bentuk semangat ingin merdeka dari Aceh, Papua, Kalimantan Timur dan Riau di akhir dekade 1990an tidak direspon semata-mata dengan kekuatan represif. Justru yang dilakukan oleh pemerintah pusat adalah melalui kebijakan desentralisasi, baik itu desentralisasi politik, desentralisasi fungsi maupun desentralisasi fiskal. Kebijakan inilah yang membuat mobilitas vertikal masyarakat daerah menjadi terbuka, ekspresi politik semakin mungkin dilakukan, dan otonomi pengelolaan sumberdaya semakin terbuka.
Kebijakan tersebut ternyata tidak serta merta membuat kekecewaan daerah usai. Berangkat dari fenomena pambangunan daerah yang tidak merata, representasi politik yang tidak adil, pembangunan ekonomi yang diskriminatif, dan praktek korupsi yang merajalela, kekecewaan masyarakat lokal tetap berlanjut. Hal ini terbukti dari semakin maraknya tuntutan untuk membentuk daerah-daerah otonom baru. Di satu sisi pemekaran daerah ini menjadi obat 'penurun panas' yang efektif untuk meredam kekecewaan masyarakat lokal, dan bahkan pula memperbaiki kinerja pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, kebijakan pemekaran tersebut juga bisa membawa menguatnya regionalisasi berbasis primordial jika tidak disertai dengan kebijakan untuk merangkai sinergi lintas daerah.
Masih banyak ekspresi kekecewaan daerah terhadap pemerintah daerah atasan ataupun terhadap pemerintah pusat di era desentralisasi sekarang ini. Pemerintah pusat yang terfragmentasi dan tanpa koordinasi, serta pusat yang tidak konsisten dengan kebijakan desentralisasi merupakan contoh ekspresi yang bisa ditemukan di kalangan pelaku pemerintahan daerah. Kesalahan pengelolaan yang parah dan kinerja pemerintah pusat yang buruk yang terjadi secara berkesinambungan akan memperpuruk legitimasi politik dan moral pemerintah pusat di hadapan masyarakat daerah. Jika hal ini terjadi, Negara Kesatuan Republik Indonesia akan mendapatkan dampaknya.
b. Saran
Dalam penulisan makalah ini, diperlukan pengkajian yang lebih mendalam mengenai pengukuran dampak terkait penerapan otonomi daerah terhadap kehidupan rakyat NKRI, dengan menggunakan instrumen penelitian yang lebih fokus pada usaha mendapatkan deskripsi keadaan yang terjadi, sehingga dapat menjadi masukan bagi penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan yang merupakan amanah dari rakyat NKRI dengan keanekaragaman karakteristik.


DAFTAR PUSTAKA

Attamimi, A, Hamid, 1990. Peranan keputusan Presiden RI dalam penyelanggarakan Pemerintahan Negara. Desertasi Jakarta : UII.
Bambang PS Brodjonegoro. 2008. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Ekonomi. Jakarta:FEUI.
Devas, Nick. 1989. Financing Local Government in Indonesia, Ohio University Press, Ohio.
Kaho, Josef Riwu, 1988, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Identifikasi Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, Jakarta, Rajawali Press.
Mubarak M. Zaki, dkk. (eds). 2006. Blue Print Otonomi Daerah Indonesia. Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa bekerja sama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia (PGRI) dan European Union (EU).

Made Suwandi, 2002. Konsepsi Dasar Otonomi Daerah Indonesia. Jakarta.

Manan Bagir, 1994, Hubungan Natara Pemerintah Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.
Nihin, AD. 1999. Paradigma Baru Pemerintahan Daerah menyongsong Milenium
ketiga, Palangka Raya.
Nitisemito, AS. 1996. Manajemen Personalia, Jakarta. Ghalia Indonesia.
Prasetyo, 2002, Otonomi Daerah Dan Permasalahannya, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Forum Peneliti Daerah pada tanggal 10 Agustus 2002 di Yogyakarta.
Rizky Argama, 2005. Pemberlakuan Otonomi Daerah dan Fenomena Fenomena Pemekaran Wilayah dan Penelitian. Jakarta, UI.
Salamat Simanjuntak, 2003. Eksistensi Kebijakan Daerah yang Demokratis dalam Sistem Pemerintahan yang bersih Bebas dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme. Yogyakarta : UNESA
Santoso, 2001, Hubungan Ideal Pemerintah Pusat dan Daerah, Bandung, Langgeng Press
Sarundajang, 1999, Arus Balik Keuasaan Pusat ke Daerah”, Sinar Harapan, Jakarta
Siswanto Sunarno. 2008. “Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia”, Sinar Grafika Offset. Jakarta
Solly Lobis. 2003. “Masalah-masalah Hukum dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah” Denpasar
Terry, GR. 2000. “Prinsip-Prinsip Manajemen”. Bumi Aksara, Jakarta.

Hukum Administrasi Negara

BAB I
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

1. Pengertian dan istilah
Pengertian dan istilah Hukum Administrasi Negara.
Sejarah dari Hukum Administrasi Negara dari Negara Belanda yang disebut Administratif recht atau Bestuursrecht yang berarti Lingkungan Kekuasaan/Administratif diluar dari legislatif dan yudisil.Di Perancis disebut Droit Administrative. Di Inggris disebut Administrative Law. Di Jerman disebut Verwaltung recht. Di Indonesia banyak istilah untuk mata kuliah ini.
1. E. Utrecht dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Administrasi pada cetakan pertama memakai istilah hukum tata usaha Indonesia, kemudian pada cetakan kedua menggunakan istilah Hukum tata usaha Negara Indonesia, dan pada cetakan ketiga menggunakan istilah Hukum Administrasi Negara Indonesia.
2. Wirjono Prajokodikoro, dalam tulisannya di majalah hukum tahun 1952, menggunakan istilah “Tata Usaha Pemerintahan”.
3. Djuial Haesen Koesoemaatmadja dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara, menggunakan istilah Hukum Tata Usaha Negara dengan 2 alasan sesuai dengan Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 tahun 1970.
4. Prajudi Armosudidjo, dalam prasarannya di Musyawarah Nasional Persahi tahun 1972 di Prapat mengunakan istilah Peradilan Administrasi Negara.
5. W.F. Prins dalam bukunya Inhiding in het Administratif recht van Indonesia, menggunakan istilah, Hukum Tata Usaha Negara Indonesia.
6. Rapat Staf Dosen Fakultas Hukum Negeri seluruh Indonesia bulan Maret 1973 di Cirebon, memutuskan sebaiknnya menggunakan istilah Hukum Administrasi Negara dengan alasan Hukum Administrasi Negara pengertiannya lebih luas dan sesuai dengan perkembangan pembangunan dan kemajuan Negara Republik Indonesia kedepan.
7. Surat Keputusan Mendikbud tahun 1972, tentang Pedoman Kurikulum minimal Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta, meggunakan istilah. Hukum Tata Pemerintahan ( HTP ).
8. Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 tahun 1970 dan TAP MPR No. II/1983 tentang GBHN memakai istilah Hukum Tata Usaha Negara.
9. Surat Keputusan Mendikbud No. 31 tahu 1983, tentang kurikulum Inti Program Pendidikan Sarjana Hukum menggunakan istilah Hukum Administrasi Negara.

Sejarah Hukum Administrasi Negara ( HAN ) atau Hukum Tata Usaha Negara HTUN) atau Hukum Tata Pemerintahan ( HTP ) di Negeri Belanda disatukan dalam Hukum Tata Negara yang disebut Staats en Administratiefrecht. Pada tahun 1946 di Universitas Amsterdam baru diadakan pemisahan mata kuliah Administrasi Negara dari mata kuliah Hukum Tata Negara, dan Mr. Vegting sebagai guru besar yang memberikan mata kuliah Hukum Administrasi Negara. Tahun 1948 Universitas Leiden mengikuti jejak Universitas Amsterdam memisahkan Hukum Administrasi Negara dari Hukum Tata Negara yang diberikan oleh Kranenburg. Di Indonesia sebelum perang dunia kedua pada Rechtshogeschool di Jakarta diberikan dalam satu mata kuliah dalam Staats en administratiefrecht yang diberikan oleh Mr. Logemann sampai tahun 1941.
Baru pada tahun 1946 Universitas Indonesia di Jakarta Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara diberikan secara tersendiri. Hukum Tata Negara diberikan oleh Prof. Resink, sedangkan Hukum Administrasi Negara diberikan oleh Mr. Prins. Berdasarkan uraian-uraian di atas jelaslah bahwa Ilmu Hukum Administrasi Negara adalah ilmu yang sangat luas dan terus berkembang mengikuti tuntutan Negara/masyarakat, sehingga lapangan yang kan digalinyapun sangat luas dan beranekan ragam dan campur tangfan pemerintah dalam kehidupan masyarakat.
2. Definisi Hukum Administrasi Negara
Pada dasarnya definisi Hukum Administrasi Negara sangat sulit untuk dapat memberikan suatu definisi yang dapat diterima oleh semua pihak, mengingat Ilmu Hukum Administrasi Negara sangat luas dan terus berkembang mengikuti arah pengolahan/penyelenggaraan suatu Negara. Namun sebagai pegangan dapat diberikan beberapa definisi sebagai berikut :
1. Oppen Hein mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah sebagai suatu gabungan ketentuan-ketentuan yang mengikat badan-badan yang tinggi maupun rendah apabila badan-badan itu menggunakan wewenagnya yang telah diberikan kepadanya oleh Hukum Tata Negara.”
2. J.H.P. Beltefroid mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan aturan-aturan tentang cara bagaimana alat-alat pemerintahan dan badan-badan kenegaraan dan majelis-majelis pengadilan tata usaha hendak memenuhi tugasnya.”
3. Logemann mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah seperangkat dari norma-norma yang menguji hubungan Hukum Istimewa yang diadakan untuk memungkinkan para pejabat administrasi Negara melakukan tugas mereka yang khusus.”
4. De La Bascecoir Anan mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah himpunan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi sebab Negara berfungsi/ bereaksi dan peraturan-peraturan itu mengatur hubungan-hubungan antara warga Negara dengan pemerintah.”
5. L.J. Van Apeldoorn mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan aturan yang hendaknya diperhatikan oleh para pendukung kekuasaan penguasa yang diserahi tugas pemerintahan itu.”
6. A.A.H. Strungken mengatakan “ Hukum Administarsi Negara adalah aturan-aturan yang menguasai tiap-tiap cabang kegiatan penguasa sendiri.”
7. J.P. Hooykaas mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah ketentuanketentuan mengenai campur tangan dan alat-alat perlengkapan Negara dalan lingkungan swasta.”
8. Sir. W. Ivor Jennings mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah hukum yang berhubungan dengan Administrasi Negara, hukum ini menentukan organisasi kekuasaan dan tugas-tugas dari pejabat-pejabat administrasi.”
9. Marcel Waline mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah keseluruhan aturan-aturan yang menguasai kegiatan-kegiatan alat-alat perlengkapan Negara yang bukan alat perlengkapan perundang-undangan atau kekuasaan kehakiman menentukan luas dan batas-batas kekuasaan alat-alat perlengkapan tersebut, baik terhadap warga masyarakat maupun antara alat-alat perlengkapan itu sendiri, atau pula keseluruhan aturan-aturan yang menegaskan dengan syarat-syarat bagaimana badan-badan tata usaha negara/ administrasi memperoleh hak-hak dan membebankan kewajiban-kewajiban kepada para warga masyarakat dengan peraturan alat-alat perlengkapannya guna kepentingan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan umum.
10. E. Utrecht mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan agar memungkinkan para pejabat pemerintahan Negara melakukan tugas mereka secara khusus.
Jadi ada tiga ciri-ciri Hukum Administarsi Negara :
1. Menguji hubungan hukum istimewa
2. Adanya para pejabat pemerintahan
3. Melaksanakan tugas-tuigas istimewa.
11. Prajudi Atmosudirdjo mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah hukum mengenai operasi dan pengendalian dari kekuasaan-kekuasaan administrasi atau pengawasan terhadap penguasa-penguasa administrasi.
12. Bachsan Mustofa mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah sebagai gabungan jabatan-jabatan yang dibentuk dan disusun secara bertingkat yang diserahi tugas melakukan sebagian dari pekerjaan pemerintaha dalam arti luas yang tidak diserahkan pada badan-badan pembuat undang-undang dan badanbadan kehakiman.
Dari pengertian-pengertian di atas jelaslah bahwa bidang hukum administrasi Negara sangatlah luas, banyak segi dan macam ragamnya. Pemerintah adalah pengurus dari pada Negara, pengurus Negara adalah keseluruhan dari jabatan-jabatan didalam suatu Negara yang mempunyai tugas dan wewenang politik Negara dan pemerintahan.
Apa yang dijalanakan oleh pemerintah adalah tugas Negara dan merupakan tanggung jawab dari pada alat-alat pemerintahan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Administarsi Negara adalah Hukum mengenai Pemerintah/Eksekutif didalam kedudukannya, tugas-tuganya, fungsi dan wewenangnya sebagai Administrator Negara.

3. Ruang Lingkup Hukum Administarsi Negara
Isi dan ruang lingkup Hukum Administarsi Negara menurut Van Vallen Hoven dalam bukunya yang berjudul :Omtrek van het administratiefrecht, memberikan skema tentang hukum administrasi Negara didalam kerangka hukum seluruhnya sebagai berikut :
a. Hukum Tata Negara/Staatsrecht meliputi :
1. Pemerintah/Bestuur
2. Peradilan/Rechtopraak
3. Polisi/Politie
4. Perundang-undangan/Regeling
b. Hukum Perdata / Burgerlijk
c. Hukum Pidana/ Strafrecht
d. Hukum Administarsi Negara/ administratief recht yang meliputi :
1. Hukum Pemerintah / Bestuur recht
2. Huku Peradilan yang mel;iputi :
a. Hukum Acara Pidana
b. Hukum Acara Perdata
c. Hukum Peradilan Administrasi Negara
3. Hukum Kepolisian
4. Hukum Proses Perundang-undangan / Regelaarsrecht.
Pendapat Van Vallen Hoven ini dikenal dengan “ Residu Theori”.
Menurut Walther Burckharlt (Swiss), bidang-bidang pokok Hukum Administrasi Negara adalah. :
1. Hukum Kepolisian
Kepolisian dalam arti sebagai alat administrasi Negara yang sifat preventif misalnya pencegahan dalm bidang kesehatan, penyakit flu burung, malaria, pengawasan dalam pembangunan, kebakaran, lalu lintas, lalulintas perdagangan ( Ekspor-Impor).
2. Hukum Kelembagaan, yaitu administrasi wajib mengatur hubungan hukum sesuai dengan tugas penyelenggara kesejahtreaan rakyat missal dalam bidang pendidikan, rumah sakit, tentang lalu lintas ( laut, udara dan darat), Telkom, BUMN, Pos, pemeliharaan fakir miskin, dan sebagainya.
3. Hukum Keuangan, aturan-aturan tentang keuangan Negara, missal pajak, bea cukai, peredaran uang, pembiayaan Negara dan sebagainya. Prajudi Atmosudirdjo mengatakan bahwa ruang lingkup Hukum Administarsi Negara adalah :
a. Hukum tentang dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum daripada Administrasi Negara.
b. Hukum tentang organisasi dari Administrasi Negara.
c. Hukum tentang aktifitas-aktifitas dari Administrasi Negara yang bersifat yuridis.
d. Hukum tentang sarana-sarana dari Administrasi Negara terutama mengenai kepegawaian Negara dan keuangan Negara.
e. Hukum Administrasi Pemerintahan Daerah dan wilayah yang dibagi menjadi :
1. Hukum Administrasi Kepegawaian
2. Hukum Administrasi Keuangan
3. HukumAdministrasi Materiil
4. Hukum Administrasi Perusahaan Negara
f. Hukum tentang Peradilan Administrasi Negara
Kusumadi Pudjosewojo, membagi bidang-bidang pokok yang merupakan lapangan HukumTata Usaha Negara atau Hukum Adminsitrasi Negara, yang diambil dari Undang-undang Dasar Sementara adalah sebagai berikut :
a. Hukum Tata Pemerintahan
b. Hukum Tata Keuangan
c. Hukum Hubungan Luar Negeri
d. Hukum Pertahan Negara dan Keamanan Umum
Golongan yang berpendapat bahwa Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara tidak ada perbedaan prinsip yaitu :
1. Kranenburg
2. Vegting
3. Prins
Golongan ini berpendapata bahwa Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara tidak ada perbedaan prinsipil, hanya pada titik berat/focus pembahasan Hukum Tata Negara fokusnya adalah hukum rangka dasar dari Negara, sedangkan Hukum Administrasi Negara adalah administrasi dari Negara, dengan demikian Hukum Administrasi Negara merupakan hukum khusus dari hukum tata Negara.
a.d.1. Kranenburg :
Tidak ada perbedaan yang prinsipil antara Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara, perbedaannya hanya terjadi dalam praktek dalam rangka tercapainya suatu kemanfaatan saja. Hukum Tata Negara adalah hukum mengenai struktur umum daripada suatu pemerintahan Negara. Sedangkan Hukum Administrasi Negara merupakan peraturan-peraturan yang bersifat khusus.
a.d.2 Mr. Prins
Hukum Tata Negara mempelajari hal-hal yang fundamental yang merupakan dasar-dasar dari Negara. Hukum Administrasi Negara menitikberatkan kepada hal-hal yang bersifat teknis yang selama ini kita tidak berkepentingan hanya penting bagi para spesialis.
4. Kedudukan dan Hubungan Hukum Administrasi Negara dengan Ilmu
Hukum lainnya.
Dalam sistematika Ilmu Hukum, Hukum Administrasi Negara termasuk dalam hukum publik dan merupakan bagian daripada hukum Tata Negara. Dilihat dari sejarahnya sebelum abad 19 Hukum Administrasi Negara menyatu dengan Hukum Tata Negara dan baru setelah abad ke 19 Hukum Administrasi Negara berdiri sendiri sebagai suatu disiplin ilmu hukum tersendiri.
Pada pertengahan abad 20 Hukum Administrasi Negara berkembang dengan pesat sebagai akibat tuntutan timbulnya Negara hukum modern ( welfarestate ) yang mengutamakan kesejahteraan rakyat. Hukum Administrasi Negara sebagai suatu disiplin ilmiah tersendiri dapat dilihat dalam teori Residu dari Van Vallen Hoven yang membagi seluruh materi hukum itu secara terperinsi sebagai berikut :
Hukum
1. Hukum Tata Negara (materiil)
a. Pemerintahan
b. Peradilan
c. Kepolisian
2. Hukum Perdata ( materiil)
3. Hukum Pidana (materiil)
a. Hukum Pemerintahan
b. Hukum Peradilan
a. Peradilan Tata Negara
b. Hukum Acara Perdata
c. Hukum Acara Pidana
d. Hukum Peradilan Tata Usaha Negara
Ilmu Hukum Administrasi Negara Sebagai suatu disiplin ilmiah tersendiri maka harus ditentukan batasan-batasan serta hubungan-hubungan antara ilmu administrasi Negara dengan beberapa cabang ilmu hukum lainnya seperti Hukum Tata Negara, Hukum Perdata, Hukum Pidana dan Ilmu Pemerintahan yang akan dibahas di bawah ini :
1. Hubungan Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Tata Negara dilihat dari segi sejarah bahwa sebelum abad ke 19 Hukum Administrasi Negara menyatu dengan Hukum Tata Negara dan baru setelah abad ke 19 Hukum Administrasi Negara berdiri sendiri. Mengenai batasan antara Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara ini terdapat dua golongan pendapat yaitu :
A. Bahwa antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
ada perbedaan prinsip, yaitu :
1. Oppen Heim
2. Van Vallen Hoven
3. Romeign
4. Donner
5. Logemann
a.d.1. Oppen Heim mengatakan bahwa pokok bahasan Hukum Tata Negara adalah Negara dalam keadaan diam (Strats in rust) , dimana Hukum Tata Negara membentuk alat-alat perlengkapan Negara dan memberikan kepadanya wewenang serta membagi bagikan tugas pekerjaan kepada alat-alat perlengkapan Negara ditingkat tinggi dan tingkat rendah.
Sedangkan Hukum Administrasi Negara adalah Negara dalam keadaan bergerak (Staats ini beveging) dimana Hukum Administrasi Negara melaksanakan aturan-aturan yang sudah
ditetapkan oleh Hukum Tata Negara baik ditingkat tinggi maupun ditingkat rendah.
a.d.2. Van Vallen Hoven
Hukum Administrasi Negara adalah semua peraturan-peraturan hukum setelah dikurangi hukum-hukum materiil Tata Negara, Pidana dan Perdata. Hukum Administrasi Negara merupakan pembatasan dari kebebasan pemerintah dalam melaksanakan tugasnya.
Badan-badan kenegaraan memperoleh kewenangan dari Hukum Tata Negara, dan dalam melaksanakan kewenangan itu badan-badan kenegaraan hasurlah berdasarkan pada Hukum
Administrasi Negara.
a.d.3. Romeign
Hukum Tata Negara mengatur mengenai dasar-dasar daripada Negara, sedangkan Hukum Administrasi Negara mengenai pelaksanaan teknisnya.
a.d.4. Donner
Hukum Tata Negara menetapkan tugas, sedangkan Hukum Administrasi Negara melaksanakan tugas itu yang telah ditentukan oleh Hukum Tata Negara.
a.d.5. Logemann
Hukum Tata Negara merupakan suatu pelajaran tentang kompetensi, sedangkan Hukum Administrasi Negara tentang perhubungan hukum istimewa.
Hukum Tata Negara mempelajari :
1. Jabatan-jabatan apa yang ada dalam susunan suatu Negara
2. Siapa yang mengadakan jabatan-jabatan itu
3. Cara bagaimana ditempati oleh pejabat
4. Fungsi jabatan-jabatan itu
5. Kekuasaan hukum jabatan-jabatan itu
6. Hubungan antara jabatan-jabatan
7. Dalam batas-batas manakah organ-organ kenegaraan dapat melakukan tugasnya.
Sedangkan Hukum Administrasi Negara mempelajari sifat bentuk dan akibat hukum yang timbul karena perbuatan hukum istimewa yang dilakukan oleh para pejabat dalam melaksanakan tugasnya.

B. Golongan yang berpendapat bahwa Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara tidak ada perbedaan prinsip yaitu :
1. Kranenburg
2. Vegting
3. Prins
Golongan ini berpemdapat bahwa antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara tidak ada perbedaan prinsipil, hanya pada titik berat/focus pembahasan Hukum Tata Negara fokusnya adalah hukum rangka dasar dari Negara, sedangkan Hukum Administrasi Negara adalah administrasi dari Negara, dengan demikian Hukum Administrasi Negara merupakan hukum khusus dari Hukum Tata Negara.
a.d.1. Kranenburg
Tidak ada perbedaan yang prinsipilantara Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara, perbedaanya hanya terjadi dalam praktek dalam rangka tercapainya suatu kemanfaatan saja.
Hukum Tata Negara adalah hukum mengenai struktur hukum daripada suatu pemerintahan Negara. Sedangkan Hukum Administrasi Negara merupakan peraturanperaturan yang bersifat khusus.
a.d.2. Prins
Hukum Tata Negara mempelajari hal-hal yang fundamental yang merupakan dasar-dasar dari Negara. Hukum Administrasi Negara menitikberatkan kepada hal-hal yang bersifat teknis, yang selama ini kita tidak berkepentingan hanya penting bagi para spesialis

BAB II
ADMINISTRASI NEGARA
1. Pengertian Administrasi
Istilah Administrasi Negara berasal dari bahasa latin administrate yang dalam bahasa Belanda diartikan sama dengan besturen yang berarti fungsi pemerintah. Beberapa pendapat tentang pengertian administrasi
1. J.Wajong : adminsitrasi sama dengan pengendalian atau memerintah (to direct, to manage, bestaken, be wind voeren atau beheren) yang merupakan suatu proses yang meliputi :
a. merencanakan dan merumuskan kebijakan politik pemerintah (Formulation of Policy).
b. Melaksanakan kebijakan politik yang telah ditetapkan oleh pemerintah dengan cara :
1.menyusun organisasi dengan menyiapkan alat-alat yang diperlukan.
2.memimpin organisasi agar tercapai tujuan.
2. Prajudi Atmosudirdjo membagi administrasi atas :
a. Ilmu administrasi publik yang terdiri atas :
a. Ilmu Administrasi Negara Umum
b. Ilmu Administrasi Daerah
c. Ilmu Administrasi Negara Khusus
b. Ilmu Administrasi Negara Privat yang terdiri dari :
1. Ilmu Administrasi Niaga
2. Ilmu Administrasi Non- Niaga.
3. R.D.H. Kusumaatmadja : Administrasi dalam kehidupan sehari-hari terdiri dari dua arti :
1. Dalam arti sempit : administrasi adalah kegiatan tulis meulis, catat mencatat dalam setiap kegiatan atau tata usaha.
2. Dalam arti luas : administrasi adalah kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu
2. Administrasi Negara
Pengertian Administrasi Negara
1. Menurut Utrecht
Administrasi Negara adalah gabungan jabatan ( aparat/alat ) administrasi yang dibawah pimpinan pemerintah )Presiden dan para Menteri) melakukan sebagian dari pekerjaan pemerintah (tugas pemerintah) yang tidak diserahkan pada badan perundang-undangan dan kehakiman. Utrecht bertitik tolak pada Teori Sisa atau Teori Residu / Atrek Theorie.
2. Prof. Waldo, mengemukakan dua definisi yaitu :
1. Public administration the organization and management of men and materialis to achieve the purpose of government.
2. Public administration is the art and science of management is applied to affair of state.
Yang artinya :
1. Publik administrasi adalah suatu pengorganisasian dan manajemen dari manusia dan alat perlengkapannya untuk mencapai tujuan dari pemerintah.
2. Publik administrasi adalah suatu seni dan ilmu dari manajemen dalam menyelenggarakan kepentingan Negara. Administrasi Negara sama dengan Public Administrasi, yang intinya mempelajari organisasi dan manajemen.
3. Dimock dan Dimeck
Administrasi Negara adalah aktivitas-aktivitas Negara dalam melaksanakan kekuasaan politik saja.
4. CST Kansil mengemukakan tiga arti administrasi Negara :
a. Sebagai aparatur Negara, aparatur pemerintah, atau instansi politik (kenegaraan) meliputi organ yang berada dibawah pemerintah, mulai dari Presiden, Menteri termasuk Sekjen, Dirjen, Irjen, Gubernur, Bupati/Walikota dan sebagainya, pokoknya semua orang yang menjalankan administrasi Negara.
b. Sebagai fungsi atau aktivitas yaitu sebagai kegiatan mengurus kepentingan Negara.
c. Sebagai proses teknis penyelenggaraan Undang-undang atau menjalankan Undang-undang.
5. Prof. Dr. Mr. Prajudi A.
Yang dilakuikan oleh administrasi Negara adalah :
1. Perencanaan
2. Pengaturan tidak bersifat Undang-undang
3. Tata Pemerintahan yang bersifat melayani.
4. Kepolisian yang bersifat menjaga dan mengawasi tata tertib
5. Penyelesaian perselisihan secara administratif
6. Pembangunan dalam penertiban lingkungan hidup
7. Tata Usaha Negara yang dilakukan oelh kantor-kantor pemerintah.
8. Penyelenggraan usaha-usaha Negara, yang dilakukan oleh dinas-dinas,
dan perusahaan-perusahaan Negara (BUMN dan BUMD).
Dasar dan tujuan daripada administrasi adalah sesuai dengan dasar dan tujuan administrasi Negara Indonesia adalah sesuai dengan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah tercapainya kesejahteraan rakyat dan keadilan social. Untuk itu dalam penyelenggaraan administrasi Negara yang baik diperlukan.
1. Social participation ( ikut sertanya rakyat dalam administrasi.
2. Social responsibility ( pertanggungjawaban administrator)
3. Social support ( dukungan dari rakyat pada administrasi negara)
4. Social control ( pengawasan dari rakyat kepada kegiatan administrasi negara)
3. Sumber Hukum Administrasi Negara
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan hukum dan ditentukan aturan hukum itu. Sumber hukum dikenal dua macam yaitu :
1. Sumber Hukum Materiil
Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi aturan hukum itu, dan untuk menentukan isi hukum itu dipengaruhi oleh banyak factor yaitu :
a. Sejarah, yaitu undang-undang/ peraturan-peraturan masa lalu yang dianggap baik dapat dijadikan bahan untuk membuat undang-undang dan dapat diberlakukan sebagai hukum positif.
b. Faktor Soiologis
Yaitu seluruh masyarakat dan lembaga-lembaga yang ada didalam masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang terjadi didalam masyarakat dapat dijadikan bahan untuk membuat hukum dengan kata lain sesuai dengan perasaan hukum masyarakat misalnya keadaan dan pandangan masyarakat dalam social, ekonomi, budaya, agama dan psikologis.
c. Fakotor Filosofis.
Yaitu ukuran untuk menentukan aturan itu bersifat adil atau tidak dan sejauhmana aturan itu ditaati oleh warga masyarakat atau mengapa masyarakat mentaati aturan itu.
2. Sumber Hukum Formil
Yaitu kaidah hukum dilihat dari segi bentuk, dengan diberi suatu bentuk melalui suatu proses tertentu, maka kaidah itu akan berlaku umum dan mengikat seluruh warga masyarakat dan ditaati oleh warga masyarakat. Sumber hukum formil Hukum Administrasi Negara adalah :
a. Undang-undang
b. Kebiasaan/Praktek hukum ddministrasi Negara
c. Yurispudensi
d. Doktrin/pendapat para ahli
a.d. a. Undang-undang
Aturan-aturan Hukum Administrasi Negara yang diatur dalam Undang-undang Dasar, dilaksanakan lebih lanjut oleh undangundang. Seluruh peraturan-peraturan organic merupakan Sumber Hukum Administrasi Negara.
Jadi sumber hukum administrasi Negara adalah sesuai dengan tata urutan/ hirarki peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, seperti tercantum dalam Undang-undang No. 10 tahun 2004, yaitu:
a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
c. Peraturan Pemerintah
d. Peraturan Presiden
e. Peraturan Daerah
1. Perda Provinsi
2 Perda Kabupaten / Kota
3. Perdes / Peraturan yang setingkat
Undang-undang sebagai sumber hukum dibentuk dengan cara-cara tertentu oleh pejabat yang berwenang/legislator. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 banyak masalah-masalah
yang akan diatur dengan Undang-Undang, misalnya :
1. Tentang Kewarganegaraan
2. Tentang syarat-syarat PembelaanNEgara
3. Tentang Keuangan Negara
4. Tentang Pajak
5. Tentang Pengajaran
6. Tentang Pemerintah Daerah dan lain-lain.
Yang memegang kekuasaan membentuk Undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat ( Pasal 20 UUD 45). Materi Perpu sama dengan materi muatan Undang-Undang .
Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi muatan untuk melaksanakan Undang-undang. Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan Undang-undang atau melaksanakan Peraturan Pemerintah. Materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Materi muatan Peraturan Desa/ Peraturan yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau setingkat serta penjabaran lebih lanjut Undang-undang yang lebih tinggi.
a.d. b. Kebiasaan/praktek Hukum Administrasi Negara.
Alat administrasi Negara dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan konkrit yang terjadi diluar dari Undang-undang. Dalam mengeluarkan Keputusankeputusan merupakan praktek administrasi Negara dalam rangka kepentingan umum.
Alat administrasi Negara dapat bertindak cepat menyelesaikan suatu masalah untuk kepentingan umum tanpa adanya suatu undang-undang.
a.d. c. Yurisprudensi
Yaitu keputusan hukum yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dapat menjadi sumber hukum administrasi Negara, Terutama Keputusan Hakim Peradilan Tata Usaha Negara.
a.d. d. Doktrin
Pendapat para ahli terutama teori-teori yang baru mengenai pelaksanaan hukum administrasi Negara dapat dijadikan sumber hukum administrasi Negara. Pendapar para ahli yang merupakan hasil pemikiran dan penulisan diterima oleh masyarakat dan dijadikan dasar bagi untuk membuat kebijakan-kebijakan bagi administrasi negara.


BAB III
TEORI-TEORI DALAM LAPANGAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

Teori-teori ini timbul karena melihat dari suatu system pemerintahan yang dianut dari suatu Negara dengan kata lain system pemerintahan suatu Negara menunjukkan lapangan kerja dari suatu Administrasi Negara.
1. TEORI-TEORI DALAM LAPANGAN HUKUM ADMINISTRASI
NEGARA
1. Teori ini muncul di Eropa Barat pada abad ke 14 dan 15 yaitu dalam system pemerintahan monarki absolute, dimana kekuasaan Negara berada didalam satu tangan yaitu seorang raja. Sistem pemerintahnnya adalah sentralisasi, yaitu semua kekuasaan ada di pusat atau terpusat dalam satu tangan yaitu seorang raja. Semua aparat Negara adalah pembantu raja, mereka hanya melaksanakan tugas pembantu dan tidak dapat mengambil inisiatif sendiri dalam melaksanakan fungsinya. Jadi bersifat dekonsentrasi.
Raja menentukan segala-galanya, raja yang membuat peraturan, menjalankan peraturan, mempertahankan, dan sekaligus menjadi hakim dan lain sebagainya.
2. Teori Dwipraja/ Diichotomy/ Dwitantra
Dalam teori ini ada beberapa pendapat yaitu :
a. Hans Kalsen ( Jerman ) :
Dia mengemukakan “ Die Reine Rechts Theori” yaitu suatu mahab dalam ilmu hukum yang disebut “ Aliran Wina” dan membagi kekuasaan Negara dalam dua bidang yaitu :
1. Kekuasaan Legislatif yang meliputi Law creating function
2. Kekuasaan Eksekutif yang meliputi :
a. Legislatif Powe
b. Judicial Power
Dalam tugas Eksekutif sangat luas yaitu melaksanakan Undang-undang Dasar dan seluruh undang-undang yang ditetapkan oleh legislative serta mencakup kekuasaan administrative dan judicial power. Kemudian Hans Kelsen membagi kekuasaan administrasi menjadi dua bidang yaitu :
1. Political function yang disebut Government
2. Administratif function
b. Hans Nawiasky
Membagi seluruh kekuasaan Negara dalam dua bagian yaitu :
1. Normgebung, yaitu pembentuk norma-norma hukum
2. Normvolischung atau fungsi eksekutif yaitu yang melaksanakan undang-undang, yang dibagi lagi menjadi :
a. Verwaltung atau pemerintahan
b. Rechtsplege atau peradilan.
c. A.M. Donner
Membagi kekuasaan pemerintah dalam dua golongan:
1. Kekuasaan yang menentukan tugas dari alat-alat pemerintah atau kekuasaan atau yang menentukan politik daripada Negara.
2. Kekuasaan yang menyelenggarakan tugas yang telah ditentukanatau merealisasikan politik Negara dalam mengejar tujuan dan tugas Negara.
d. Frank J. Goodnow ( Amerika)
Membagi seluruh kekuasaan pemerintah dalm sua bagian yaitu :
1. Policy making yaitu yang menentukan tugas dan kekuasaan Negara.
2. Task Executing yaitu pelaksana tugas dan haluan Negara
3. Teori Tripaja ( Trias Politika)
Dalam teori ini ada dua tokoh yaitu :
a. John Locke, abad ke 17 membagi kekuasaan Negara dalam tiga bagian, yang masing-masing berdiri sendiri dan dipegang oleh alat-alat perlengkapan tersendiri pula yaitu :
1. Kekuasaan Legislatif yaitu kekuasaan yang membuat peraturan/ undang-undang.
2. Kekuasaan eksekutif yaitu kekuasaan untuk melaksanakan undangundang.
3. Kekusaan Federatif, yaitu kekuasaan yang tidak termasuk kekuasaan
Legislatif dan kekuasaan eksekutif seperti hubungan luar negeri.
b. Montesqueiu
Membagi kekuasaan negara kedalam tiga bagian yang masing-masing terpisah satu dengan yang lainnya dan dipegang oleh alat-alat perlengkapan Negara yaitu :
1. Kekuasaan Legislatif yaitu kekuasaan untuk membuat peraturan.
2. Kekuasaan Eksekutif yaitu kekuasaan untuk menjalankan peraturan
3. Kekuasaan Yudikatif yaitu kekuasaan mengadili mempertahankan
peraturan.
4. Teori Catur Praja
Teori ini dikemukakan oleh Van Vollen Hoven dengan teori Residunya/ aftrek teori yang membagi kekuasaan atau fungsi pemerintah menjadi empat bagian yaitu :
a. Fungsi Bestuur / fungsi pemerintah
Pemerintah mempunyai tugas yang sangat luas, yaitu tidak hanya melaksanakan peraturan saja, akan tetapi pemerintah mencampuri urusan kehidupan masyarakat baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya dan politik maupun melaksanakan kepentingan umum
b. Fungsi Politie atau fungsi polisi
Yaitu melaksanakan pengawasan secara preventif yang berupa paksaan pada warga untuk mentaati suatu ketertiban umu/hukum agar tata tertib dalam masyarakat tetap terpelihara.
c. Fungsi Justitie / Fungsi mengadili
Kekuasaan mengadili juga berfungsi sebagai pengawasan yang represif yang berarti fungsi ini melaksanakan yang konkrit yaitu menyelesaikan suatu perselisihan dengan berdasarkan undang-undang dan dengan seadiladilnya.
d. Fungsi Regelaar / Fungsi Pengaturan
Yaitu melaksanakan tugas perundang-undangan artinya setiap peraturan yang dikeluarkan mempunyai daya ikat bagi masyarakat.
5. Teori Pancapraja
a. Dr. J.R. Stellinga
Menambah satu fungsi dari tugas pemerintah, sehingga tugas pemerintah bukan lagi empat akan tetapi menjadi lima buah yaitu :
1. Fungsi Wetgeving ( perundang-undangan)
2. Fungsi Bestuur ( pemerintah)
3. Fungsi Politie ( kepolisian)
4. Fungsi Rechtspraak ( Peradilan)
5. Fungsi Burgers ( Kewarganegaraan)
b. Lamaire
Pemerintah mempunyai lima fungsi yaitu :
1. Bestuurszorg ( yaitu kekuasaan untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum)
2. Bestuur ( pemerintahan dalam arti sempit)
3. Politie ( kekuasaan polisi)
4. Justitie ( kekuasaan mengadili)
5. Regelaar ( kekuasaan mengatur )
6. Teori Sad Praja
Wirjono Prodjodikoro, kekuasaan pemerintah dapat dibagi dalam enam bagian yaitu :
a. Fungsi pemerintah
b. Fungsi perundang-undangan
c. Fungsi pengadilan
d. Fungsi keuangan
e. Fungsi hubungan luar negeri
f. Fungsi pertahan keamanan

2. TUGAS DAN FUNGSI PEMERINTAH
Hukum Tata Pemerintahan adalah aturan-aturan yang nengatur pemerintah didalam kedudukannya, fungsinya dan tugas-tugasnya sebagai Administrator Negara. Pemerintah adalah keseluruhan daripada jabatan-jabatan didalam suatu Negara, yang mempunyai tugas dan wewenang dalam bidang Politik Negara serta bidang Pemerintahan.
Tugas-tugs pemerintahan adalah tugas-tugas Negara yang dilimpahkan atau dibebankan kepada pemerintah guna mencapai tujuan Negara. Tugas Negara lainnya dipegang oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Legislatif ( DPR )Mahkamah Agung dan Lembaga-lembaga Tinggi lainnya.
Tugas dan fungsi Pemerintah antara lain sebagai berikut :
1. Bidang Pemerintahan
Mengembangkan dan menegakkan Persatuan Nasional dan Territorial sengan menggunakan wibawa dan kekuasaan Negara melalui :
- Peraturan perundang-undangan
- Pembinaan masyarakat
- Kepolisian
- Peradilan
2. Bidang Administrasi Negara
Tugas ini berupa penyelengaraan atau pelaksanaan kehendak-kehendak ( strategi, policy ) serta keputusan pemerintah, menyelenggarakan dan menjalankan undang-undang. Juga pengendalian situasi dan kondisi Negara, dapat mengetahui apa yang terjadi didalam masyarakat.
3. Pengurusan rumah tangga Negara
Masalah-masalah ini meliputi antara lain kepegawaian, keuangan, materiil, logistic, jaminan social, produksi, distribusi, lalu lintas angkutan dan komunikasi serta bidang kesehatan dan lain-lain.
4. Pembangunan
Tata pembangunan terdiri dari beberapa perencanaan Negara maupun daerah, petnetapan peleaksanaan beserta anggarannya. Pembangunan dilakukan secara berencana baik jangka pendek maupun jangka panjang.
5. Pelestarian Lingkungan Hidup
Mengatur tata guna lingkungan, perlindungan lingkungan dan penyehatan lingkungan dan lain sebagainya.
6. Pengembangan Kebudayaan Nasional yang ada didalam masyarakat, kebudayaan daerah-daerah perlu dikembangkan.
7. Bisnis / Niaga
Bisnis bukan dagang, tetapi suatu kegiatan untuk melayani kebutuhan masyarakat atau umum misalnya dinas kebersihan kota, rumah sakit, sekolahan, juga bidang-bidang usaha negara seperti BUMN dan BUMD. Di Indonesia pemerintahan yang tertinggi dipegang oleh Presiden ( pasal 4 UUD 1954 ).
Pemerintah pusat dibawah Presiden adalah Menteri dan dibawahnya adalah Direktur Jenderal, kemudian yang menjadi pemerintah secara hirarki adalah Gubernur sebagai kepala wilayah propinsi.
Pemerintahan Daerah Tingkat I ( Kepala Daerah dan DPRD I.
Bupati Kepala Wilayah Kabupaten
Walikotamadya Kepala Wilayah Kotamadya.
Pemerintahan Daerah Tingkat II
Walikota Kepala Kota Administratif.
Camat Kepala Wilayah Kecamatan.
Pemerintahan Desa ( Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa )
Pemerintahan Kelurahan.
Pejabat-pejabat tersebut di atas adalah pemerintah dalam arti sempit.
Didalam praktek pejabat-pejabat tersebut dapat melimpahkan sebagian daripada wewenang pemerintahannya kepada pejabat-pejabat bawahannya. Setiap pejabat pemerintah secara otomatis merangkap sebagai Adminsitrator, karena pemerintah adalah kepala Administrator Negara.
Presiden adalah Pemerintah Negara dan sebagai Kepala Administrator Negara Republik Indonesia. Menteri adalah Pemerintah Departemen merangkap sebagai Kepala Administrator Departemen.
Departemen mempunyai tiga fungsi yaitu :
a. Bidang pemerintahah dan administrasi umum
b. Sekertariat besar menteri
c. Aparatue Negara urusan tertentu, unit organisasi pemerintahan fungsional.
Direktur Jenderal adalah Pemerintahan Direktorat Jenderal merangkap sebagai
Administrator Direktor Jenderal.
Direktorat Jenderal mempunyai tiga fungsi yaitu :
a. Sub Bidang pemerintahan dan administrasi umum
b. Sekertariat besar Drektur Jederal
c. Aparatur Negara urusan khsusus; unit organisasi pemerintahan fungsional.
Gubernur Kepala Propinsi adalah Pemerintah Propinsi dan sebagai Administrator
Propinsi. Propinsi mempunyai empat arti yaitu :
a. Wilayah pemerintahan dan administrasi umum
b. Wilayah Jabatan ( wilayah administratif )
c. Aparatur atau perangkat pemerintahan administrasi
d. Unit organisasi pemerintahn territorial dekonsentral.
Kepala Daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Tingkat I adalah Pemerintah
Daerah Tingkat I, sedangkan Kepala Daerah adalah Administrator Daerah. Daerah mempunyai dua arti yaitu :
a. Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai rumah tangga dan diberi hak dan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
b. Unit orgasnisasi pemerintahan desentral.
Bupati Kepala Kabupaten dalah Pmerintah Kabupaten dan Kepala Administrator Kabupaten.
Kabupaten mempunyai empat arti yaitu :
a. Wilayah pemerintahan dan administrasi umum
b. Wilayah Jabatan ( wilayah administratif )
c. Aparatur atau perangkat pemerintahan administrasi
d. Unit organisasi pemerintahn territorial dekonsentral.
Walikotamadya adalah Pemerintah Kotamadya merangkap sebagai Administrator Kotapraja.
Kotamadya mempunyai empat arti yaitu :
a. Wilayah pemerintahan dan administrasi umum
b. Wilayah Jabatan ( wilayah administrative )
c. Aparatur atau perangkat pemerintahan administrasi
d. Unit organisasi pemerintahn territorial dekonsentral.
Kepala Daerah bersama Dewan Perwakilan Daerah Tingkat II merupakan Pemerintah Daerah Tingkat II, sedangkan Kepala Daerah II adalah Administrator II. Kepala Wilayah dibantu oleh Sekretaris Wilayah yang dipimpin oleh Sekretaris Wilayah ( SEKWIL ) Kepala Daerah dibantu oleh Sekretaris Daerah yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah ( SEKDA ). Kedua Skretariat tersebut diatas diintegrasikan menjadi satu menajdi SEKWIDA. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dibantu oleh suatu secretariat yang dipimpin oleh Sekretaris DPRD. Walikota adalah pemerintahan Kota Administratif merangkap sebagai administrator Kota Administrator.
Kota Administratif mempunyai empat arti yaitu :
a. Wilayah pemerintahan dan administrasi umum
b. Wilayah Jabatan daerah administratif
c. Aparatur atau perangkat pemerintahan administrasi
d. Unit organisasi pemerintahn territorial dekonsentral.
Setiap Kepala Wilayah ( Propinsi, Kabupaten, Kotamadya, Kota
Administratif, Kecamatan) adalah wakil pemerintah pusat, merupakan
penguasa tunggal dan berfungsi sebagai Administrator Pemerintahan,
Administrator Pembangunan, dan Administrator

DAFTAR PUSTAKA

1. E. Utrecht; Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Balai Buku
Ichtiar, Jakarta, 1966.
2. Prajudi Atmosudirdjo,; Hukum Administrasi Negara, Gralia Indonesia,
Jakarta ,1966.
3 Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Alumni
Bandung ,1984
4 D.H. Koesoemahatmadja, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara, Alumni,
Bandung 1975.
5 Kontjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan
Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung ,1978.
6 Victor M. Situmorang, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Bina
Aksara, Jakarta, 1987.
7 Benny M. Yunus, Intisari Hukum Administrasi Negara, Bandung, Cetakan
IV, 1986.
8 CST. Kansil, Hukum Tata Pememrintahan Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta 1983.
9 Danu Rejo, Struktur Administrasi dan Sistem Pemerintahan Indonesia,
Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 1961.
10 Ampah Muslimin, Beberapa Azas-Azas dan Pengertian-Pengertian
Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, 1980.
11 W.F. Prins, Inleiding in het Administratief recht van Indonesia, JB Walters
Groningen, Jakarta, 1950.
12 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York, 1961.
13 JHA. Logemann, Het Staatrecht van Indonesia, Yayasan Gajah Mada..
14 Dwight Waldo, The Study of Public Administration, Random House, New
York, 1963.
15 Diane Hakim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia
Tahun, Ciawi, 2004 .
16 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2006.
17 Prof. Dr. Sadri Wasistiono,M.S., Kapita Selekta Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, Fokus Media Tahun, Bandung, 2003.
18 Lutfi Effendi, S.H.,M.Hum., Pokok-Pokok Hukum Administrasi,
Bayumedia Publishing,Semarang, 2003.
19 Prof. Dr. CST. Aknsil, S.H., Sistem Pemerintahan Indonesia, Bumi Aksara,
Jakarta, 2003..
20 Ni’matul Huda, S.H.,M.Hum., Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Raja
Grafindo, 2005.
91
21 Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, PT. Toko Gunung Agung
Jakarta, 1999.
22 UUD 1945 dan Perubahan dari naskah UUD 1945, Perubahan Pertama,
Kedua, Ketiga, dan Keempat.
23 UU No. 5 Tahun 1986, Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
24 UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
25 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah